Berceloteh
Ini Berawal Dari
Irawani
Ini berawal dari perjalanan hidup
ketika ku beranjak dewasa. Pada saat itu aku masih berumur empat, lima belasan.
Aku adalah seorang anak yang terlahir dalam keluarga yang sangat berkecukupan
tak ada kurangnya sama sekali, walaupun keluargaku tak semewah keluarga
sinetron di televise tapi aku merasa kebutuhanku seharusnya sangat terpenuhi.
Keluargaku merupakan keluarga PNS, Pegawai Negeri Sipil katanya. Yaa… PNS yang
dicitakan banyak kalangan belakangan ini karena hidupnya yang ditanggung oleh
negara melalui pungutan pajak yang kita bayar setiap harinya. Betul, aku adalah
anak pajak, anak negara yang kehidupannya kalian tunjang. Hidupku kalianlah
yang memenuhinya, mulai dari susu, makan, minum, sampai barang mewah dan uang
tipu-tipu ku pun itu adalah hasil dari pungutan pajak yang kalian setorkan. Kalian
tidak mempercayainya ? coba saja kalian cek, darimana pemerintah mendapatkan
uang untuk menggajih para pegawai negerinya tersebut. PNS belakangan ini memang
mulai mencuri hati para pencari kerja atau para lulusan civitas akademika dari
berbagai perguruan tinggi, hal tersebut bisa terjadi tidak dipungkiri karena
pengaruh besar dari Presiden kita waktu itu, SBY Susilo Bambang Yudhoyono.
Yupp, SBY yang dalam masa pemerintahannya banyak dihakimi di media ini
memberikan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada para pegawai negerinya
dengan menaikan gajih, berikut tunjangan dan bonusnya. Tujuannya adalah untuk
menaikan kinerja pegawai negerinya, itu maksud baik dari bapak Presiden itu.
Lalu setelah itu barulah banyak orang mendaftarkan dirinya sebagai PNS. Menurut
kedua orangtuaku dulu orang ditawari jadi PNS saja gak ada yang mau, malah
lebih memilih jadi mantri yang pekerjaannya nyerempet seperti dokter itu. Kata
mereka sih, zaman dulu gajih PNS gak sebesar sekarang. “Dulu pegawai negeri itu
cuma babunya negara, kerjanya cuma dikerjain sama negara karena gajih cuma bisa
buat makan sama hidup aja. Pikiran pegawainya pun terus diberi arah ke urusan
maunya negara, dapur gak ngebul ya bukan urusan negara. Itu urusanmu saja” itu
yang dibilang sama mereka. Tapi coba kalian lihat sekarang ? semua
berbondong-bondong setelah pegawai dihargai dan mendaptkan banyak tunjangan.
Mau mengabdi sama negara atau mau malak negara yaa. Tapi itulah pegawai negara
hari ini, hidupnya terbiayai oleh negara. Dari kendaraannya, asap dapurnya,
sampai anak-anaknya jadi tanggung jawab negara. Dapet darimana anggaran dananya
? ya dapet dari pungutan pajak masyarakatnya, dari situlah pegawai negeri
mendapatkan gaji.
Akan tetapi… bukan berarti orang
tuaku di rumah hanya diam saja tanpa melakukan apa-apa, mereka pun masih harus
bekerja pontang-panting mengabdi pada negara. Berusaha berjuang atas nama
negara dan penerusnya, mengabdi dengan sepenuh tenaga dan tetes keringat yang
ada. Negara bilang A, ya apalah daya orangtuaku yang hanya babu negara… mereka
pun akan melakukan A. Padahal dalam hal ini pun sering kali mereka mengeluhkan
akan sistem yang selalu berubah ketika penguasa berganti nama, dari masa ke masa.
Kebetulan orangtuaku berkecimpung dalam dunia pendidikan, yaa… Mereka PNS yang
mengabdi menjadi seorang pengajar. Kedua orangtuaku adalah seorang guru sekolah
dasar, mereka mengajar mereka yang masih awal mengenal tatanan kehidupan.
Menurut mereka, menjadi seorang guru sekolah dasar itu lebih susah apabila dibandingkan
dengan guru diatasnya. Katanya sih “kan kalo jadi guru SD bapak, ibu harus
sabar ngadepin pola pikir mereka yang masih anak-anak, jadi sabarnya ekstra. Apalagi
ini kan pelajaran awalnya mereka, kita kalo bentak sedikit orangtuanya udah
jerit-jerit, sabar deh pokoknya” itu sih yang sering mereka bilang kalo lagi
ngeluh masalah sistem pengajaran dan penghargaan yang diterima kepada guru
sekolah dasar itu masih kurang. Sudah penghargaannya kurang, fasilitas sekolah
dasar pun tidak sebanding bahkan tigabanding jauh terlampaui oleh fasilitas
sekolah diatasnya. “mungkin anak-anaknya masih bau kencur jadi dikasih apa
adanya juga terima” itu kata bapakku sih. Coba aja kalian liat sekolah dasar
emang punya fasilitas olahraga ? atau fasilitas kantin ternama, atau fasilitas
kelas dengan projector atau peta dunia bergerak ? jawabnya ada. Iyaa ada, tapi
itu hanya ada di sekolah dengan biaya super premium dan bukan milik negara.
Guru sekolah dasar pun pendidikannya hanya sekedar saja, orangtuaku bilang sih
“gak usah sampai S2 kalau cuma mau jadi guru SD, percuma mau ngapain kalau mau
S2 mah jadi dewan aja. Guru SD mah cukup dengan sabar…sabar…sadar”. Yaaa,
namanya juga mau mengabdi ya harus tetap berbakti sama negara. Gak apa-apa
sekolahnya bobrok juga, bangku reot, kelas sempit yang penting anak-anak
sekolah dan gak keluyuran dijalan kan. Biar keliatan pinter aja di sekolahan
itu sih katanya bapak-bapak yang ngakunya temen bapakku. Ngomong-ngomong
tentang sekolah dan bapakku, bapakku pernah bingung soal sekolah dasarnya. Dia
bilang “ko bisa ya, di sekolah bapak terus aja waktu pertama kali buka
pendaftaran masuk ajaran baru kelasnya sampe full. Satu kursi yang panjang itu
bisa isi sampe 4-5 orang ko makin naik tingkat isinya makin kosong ya” itu dia
bilang.
Pola hidup orangtuaku itu bangun
pagi untuk siap-siap mengajari anak orang ditempat yang disebut sekolah. Pagi
hari mereka harus sudah bangun, bahkan biasanya ayam pun kalah bersaing dengan
mereka. Ibu ku paling power girl, dia bangun pagi dan harus mencuci bekas
makanan hari kemarin, lalu dia harus memasak air untuk mengisi termos air
hangat, setelah itu dia harus membangunkan anak-anaknya untuk bergegas untuk
berangkat ke sekolah. Setiap pagi aku akan terbangun oleh aktifitas mereka,
berisiknya wajan yang di cuci, berisiknya suara kompor dan air yang dididihkan,
belum lagi suara keran yang terus menyala untuk mengisi bak mandi. Aaargghh…
cara bangun pagi yang tak ku suka kala itu. Orangtuaku bangun pagi hanya untuk
mengabdi untuk anak negeri calon penerus bangsa ini, semangat dan keringatnya
mereka peras hanya untuk anak-anak yang selalu menantinya ditempat yang bernama
sekolah itu. Mereka pergi untuk anak-anak yang juga dirumahnya mereka memiliki
orangtuanya masing-masing, sama seperti aku yang memiki mereka berdua. Yaa…
mereka berdua yang menjadi guru di sekolah itu. Tapi kalian tau, apa kabar kami
anak-anaknya dirumah. Kami pun dititipkan mereka ke tempat yang disebut sekolah
tersebut dengan pola yang sama. Bangun pagi untuk datang ke sekolah menyambut
guru yang mengabdi agar kami cerdas dan berbakti di kemudian hari. Perbedaannya
hanya satu mereka punya orangtua ketika dirumah sebelum ke sekolah, tapi aku
bersama guru ketika di rumah. Guru yang semangatnya untuk mengajari mereka yang
dititipkan ditempat bernama sekolah.
Komentar
Posting Komentar