Bukan Hanya Tut Wuri Handayani
Soewarno Soeryaningrat mungkin nama itu
sangat asing di telinga kita, tapi apabila kita menyebutkan nama Ki Hajar
Dewantara, maka saya yakin kalian tidak akan menyebut lagi siapa itu Soewarno
Soeryaningrat. Yaa, Soewarno Soeryaningrat adalah nama asli dari Ki Hajar
Dewantara yang di kenal sebagai tokoh pendidikan republik ini yang wajahnya
pernah diabadikan pada uang kertas Rp. 20.000,-. Pengangkatan Ki Hajar
Dewantara sebagai tokoh pendidikan bangsa ini bukannya tanpa sebab, tapi beliau
memang di kenal aktif dalam gerakan pendidikan semasa hidupnya. Cita – cita
besarnya adalah membebaskan bumi putra (masyarakat Indonesia) dari kebodohan
dan membentuk karakter intelektual kepada kaum muda yang dianggapnya sebagai penerus
pribadi daulat bangsa. Satu contoh besarnya dalam dunia pendidikan adalah
sekolah yang didirikannya pada 3 Juli 1922 bernama Nationaal Orderwijs
Instituut Taman Siswa yang kemudian lebih dikenal dengan nama Taman Siswa.
Sebelum beliau mendirikan sekolah tersebut Ki Hajar Dewantara pun pernah
mengajar terlebih dahulu di salah satu sekolah yang didirikan oleh saudaranya.
Maka dari itu Ki Hajar Dewantara pun di kenal sebagai aktivis pendidikan yang
disegani pada masa itu dan dianggap sebagai pemberontak oleh pemerintahan
kolonial Belanda.
Karya besar lainnya dari Ki Hajar Dewantara
adalah sebuah semboyan sakti untuk para pendidik yang sampai saat ini masih
terekam dan tertulis dengan jelas pada logo kementrian pendidikan republik ini.
Semboyan sakti itu adalah “Tut Wuri
Handayani”. Kata yang sangat familiar untuk lembaga pendidikan di Republik
ini. Tapi semboyan pada logo tersebut
bukanlah semboyan utuh yang di cetuskan oleh Ki Hajar Dewantara, melainkan
hanya 1 bait terakhir diantara 3 bait dari semboyan tersebut. Tiga bait utuh
yang tak sefamiliar, salah satu baitnya.
Bait lengkapnya adalah “Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madya Mangun Karso, Tut Wuri Handayani”. Bait
utuh itulah yang tidak termasyarakat dengan baik, berbeda tentunya dengan satu
bait yang sangat familiar. Bait – bait pada semboyan tersebut memiliki makna
yang sangat mendalam yang ditujukan oleh Ki Hajar Dewantara terhadap sistem
pendidikan dan pengajaran di republik ini. Ing
Ngarso Sung Tulodo memiliki arti memberikan tauladan di depan, Ing Madya Mangun Karso memiliki arti
ditengah membangun semangat dan Tut Wuri
Handayani itu sendiri berarti memberikan dorongan dari belakang. Dari 3
bait tersebut terlihat dengan jelas bahwa Ki Hajar Dewantara mencoba memberikan
sebuah metode pengajaran yang komunikatif dan humanis terhadap subjek
pendidikan itu sendiri.
Metode yang komunikatif dan humanis itu
bisa kita lihat dari kata – kata yang memberikan motivasi secara total kepada
subjek didik. Perspektif itu bisa kita lihat dari kata “didepan memberikan
tauladan dan ditengah membangun semangat”. Melalui kata itu Ki Hajar Dewantara
berharap sosok pengajar sepatutnya terlebih dahulu memberikan tauladan kepada
siswa didiknya yang nantinya tauladan itu pun akan di nilai – siswa didik akan
mencontoh moral dan etika dari sosok pengajar yang dianggap sebagai pemberi
panutan – oleh siswa didiknya dan berpengaruh kepada tercapainya tujuan dari
pendidikan itu sendiri. Setelah itu ada pemberian semangat yang harus terus
diberikan kepada siswa didik agar komunikasi antara pengajar dan siswa didik
dapat terus berjalan dengan baik, khususnya kepada mereka yang tidak mampu
mengikuti pola pengajaran dengan baik. Sehingga siswa didik pun dapat dilihat
perkembangannya. Pemberian semangat ini secara psikologis dapat membantu
seseorang lebih percaya diri dalam melakukan berbagai macam hal karena semangat
itu akan menggagalkan proses berpikir takut (John Fiske). Cara yang dilakukan
melalui dua hal tersebut pun sudah menggambarkan pola mata rantai yang saling
bergantung antara satu dan lainnya. Ketika pengajar tidak memberikan tauladan
didepan siswa didiknya, maka tujuan dari pendidikan tidak akan tersampaikan
dengan baik. Pemberian semangat pun akan menjadi sia – sia ketika pengajar
tidak memberikan tauladan kepada siswa didiknya. Setelah memberikan tauladan
dan membangun semangat dalam semboyan itu pun menjelaskan pengajar harus
memberikan dorongan dari belakang kepada siswa didiknya sehingga tidak akan
pernah ada istilah siswa yang mundur dan menyerah. Sehingga tujuan dari pendidikan
tidak akan menjadi gagal untuk mencetak pribadi berintelektual tinggi.
Pada hari ini semboyan Ki Hajar Dewantara
itu seakan tenggelam perlahan diatas pita logo kementrian pendidikan. Simbol
pada logo itu memang dengan jelas mencantumkan bait kata dari semboyan sakti Ki
Hajar Dewantara, akan tetapi logo itu hanya mencantumkan bait terakhirnya saja
yang artinya pun hanya untuk memberikan “dorongan dari belakang”. Membuat
pemaknaannya menjadi ambigu, dorongan seperti apa yang dimaksud ? akan sampai
mana dorongan itu diberikan ?, dengan makna yang menjadi ambigu, pertanyaan pun
menjadi nyeleneh bukan ?. Berarti dengan jelas logo itu sudah menghilangkan
perpektif pikir dari semboyan utuh Ki Hajar Dewantara yang asli, yaitu “memberikan tauladan” dan “membangun semangat”
kepada para siswa didik sehingga tafsir dan tujuannya menjadi jelas. Tidak
salah jika seperti itu, apabila masyarakat di era modern ini memaknai
pendidikan dan pengajar hanya sebatas pemberi dorongan kepada para siswanya – memberikan
prakata laksana komando – tanpa diberikannya tauladan juga semangat, agar siswa
sebagai subjek pendidikan dapat dibimbing dengan kebenaran yang pasti. Tidak
hanya sebuah perintah, ketika salah dijauhkan dan dianggap sebagai manusia
bodoh dan tidak punya masa depan. Para pengajar atau pemangku kepastian
pendidikan di republik ini kini sudah menjauhi cita – cita Bapak Pendidikannya,
dimana sistem pengajaran bisa lebih komunikatif dan humanis, kedekatan siswa
dan pengajar yang harusnya bisa saling bertukar informasi, membuat dinamika dan
transformasi budaya didik yang seimbang antar generasi (Tua dan Muda).
Perlu diingatkan kembali semboyan itu bukan
hanya “Tut Wuri Handayani” saja, tapi masih ada “Ing ngarso sung tulodo, Ing madya
mangun karso” yang menjadi awalannya. Tanpa adanya sebuah tauladan yang
dijadikan panutan dan tanpa adanya semangat untuk dijadikan sebuah pacuan /
cambukan, dorongan akan hanya jadi sebuah hal yang sia – sia. Ki Hajar
Dewantara mencetuskannya dengan lengkap, penuh makna dan arti untuk tujuan
pendidikan yang pasti, bukan untuk komersialitas dan prasyarat kata tanpa
tujuan / sebab. Satu hal lagi, sebuah kata itu memiliki arti yang membentuk
perspektif pikir dan memberikan negosiasi sifat – tingkah laku pada pemaknaan
yang dituliskan (hasil dari kerja pikir antara idealism dan action). Maka
pemotongan kata dalam sebuah kalimat penuh, akan memberikan sebuah pengaruh
besar terhadap perspektif pikir dari prakata tersebut. (Irawani)
Komentar
Posting Komentar